Hak asasi anggota POLRI & TNI antara ada dan tiada?
Isu tentang hak asasi manusia (human rights) selalu muncul ketika sebuah negara sedang mengalami unjuk rasa. Pada saat demonstrasi polisi akan berada di garis depan untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Para pendemo punya kepentingan agar pemerintah atau anggota Parlemen (DPR) memenuhi kepentingan mereka. Biasanya mereka akan menggunakan slogan-slogan bernada membela serta memperjuangkan kepentingan rakyat.
Ketika terjadi demo biasanya terjadi benturan antara polisi dengan para pendemo. Tidak selalu demontrasi berjalan damai dan diakhiri sesuai kesepakatan misalnya unjuk rasa harus diakhiri pada jam 18.00 waktu setempat.
Demontrasi pada dasarnya merupakan ekspresi adu ide dan kepentingan yang umumnya sulit langsung terjadi titik temu. Kedua belah pihak ingin mempertahankan kepentingan masing-masing. Entah itu para pendemo maupun pemerintah atau parlemen - pasti merasa paling memperjuangkan kebutuhan rakyat apapun itu, sesuai "isu" yang sedang terjadi.
Kekacauan sangat mungkin terjadi tat kala ada unjuk rasa berlangsung. Di antara pengunjuk rasa ada individu atau beberapa orang yang sangat "militan". Biasanya mereka menjadi orator atau penyemangat. Ada yel yel, nyanyian dan gerakan-gerakan yang pasti menarik untuk diliput oleh media televisi dan jurnalis lainnya. Pegiat media sosial pun mendapat kesempatan untuk berkiprah baik yang berada di kubu pendemo maupun di pihak yang didemo.
Eskalasi yang terjadi bisa menyebabkan bentrokan yang mengarah pada kekerasan, baik kekerasan verbal, fisik dan kericuhan yang mengakibatkan perusakan pada fasilitas umum, bahkan mengancam keselamatan fisik dan jiwa di kedua belah pihak.
Penting pula dicermati, melakukan demo apapun di tengah pandemi global yang diakibatkan serangan COVID-19, maka Virus Corona akan mengancam kesehatan jiwa dan raga para pendemo dan polisi maupun warga yang kebetulan karena tidak beruntung akhirnya terancam. Mereka bisa terpapar Coronavirus yang berakibat sangat buruk terhadap kesehatan dan mengancam jiwa. Padahal jiwa manusia hanya satu, dan ada keluarga yang menanti kepulangan mereka dengan utuh dan selamat.
Akan semakin parah jika ada provokator di lapangan yang berteriak dengan narasi penuh hasutan. Di jaman teknologi informasi ini ternyata sang provokator tidak perlu hadir di lapangan. Mereka mungkin saja menggerakkan para pendemo dari rumah, hotel atau apartemen di dekat lokasi demonstrasi terjadi. Aksi di tengah lapangan dengan mudah digerakkan oleh si provokator sambil menikmati kopi dan kue favorit, bahkan bisa memesan makanan secara online untuk makan siang dan malam. Komunikasi dilakukan dengan text message seperti SMS atau WhatsUp.
Hal buruk sering terjadi, misalnya ada pendemo yang terluka bahkan mati karena unjuk rasa berlangsung sangat kacau. Isu hak asasi pun dengan cepat muncul, sehingga polisi dengan mudah dicaci maki di media sosial. Para pengamat, LSM dan elite politik mulai berkomentar bahwa polisi sudah melakukan pelanggaran HAM.
Media pun memfalisitasi peristiwa itu sebagai berita atau bahan talk show pada malam harinya, belum lagi kehebohan yang terjadi di media sosial. Cukup dengan melihat foto atau video, maka berbagai komentar yang mengecam peristiwa itu pun dengan mudah bermunculan. Para pejabat pemerintah dan pihak kepolisian pun akan memberikan penjelasan. Kalau polisi juga melakukan penangkapan dan penahanan, maka kritik pun akan menyerang pihak kepolisian.
Apabila ada polisi atau tentara yang terluka parah, bahkan ada yang meninggal di tengah demonstrasi yang anarkis, maka pegiat HAM dan para pengamat akan menyebut bahwa apa yang dialami polisi sudah merupakan risiko polisi.
Meskipun polisi sudah berusaha menjalankan protap dengan baik dan tidak berniat untuk melanggar hak asasi manusia - yang sudah pasti sulit dilaksanakan dengan sempurna, jika ada provokator yang bergerak di lapangan atau yang bersembunyi dengan nyaman di suatu tempat. Unjuk rasa yang disertai kekerasan dan perusakan fasilitas umum dan privat pasti merepotkan polisi, pemadam kebakaran dan petugas lain. Masyarakat umum juga sangat terganggu.
Eskalasi yang meningkat dan situasi memanas yang terjadi membuat pendemo dan anggota Polisi menghadapi risiko serta bahaya yang sama. Mereka adalah manusia biasa yang terdiri dari darah dan daging serta hanya memiliki satu nyawa. Hal buruk yang mengancam keselamatan fisik dan jiwa di kedua belah pihak pasti terjadi.
Sudah begitu banyak pihak yang memberikan pembelaan terhadap para pendemo dari sisi hak asasi manusia. Bagaimana nasib para polisi atau tentara yang terkena lemparan batu, tusukan pisau, tertembus panah atau dikeroyok serta dianiaya oleh pengunjuk rasa?
Apakah sudah cukup dengan menyatakan bahwa kejadian buruk yang menimpa anggota polisi adalah semata-mata "risiko tugas" saja?
Sepertinya para pengamat, elite politik, pegiat hak asasi manusia begitu pula para pengunjuk rasa sudah lupa nilai-nilai kemanusiaan pada seorang polisi. Para petugas polisi pun punya keluarga seperti anak istri atau suami yang harap-harap cemas di rumah mereka. Mereka takut jika sang suami/istri mereka yang sedang berdinas untuk mengamankan unjuk rasa tidak akan pulang ke rumah. Keluarga juga cemas kalau ada polisi yang akhirnya cacat seumur hidup.
Kalau memang ingin tetap berdemonstrasi untuk menyalurkan aspirasi, kenapa tidak dilakukan dengan tertib dan damai. Ada pula jalur konstitusi yang bisa dilakukan untuk menolak sebuah Undang-undang baik untuk seluruh pasal maupun hanya pasal dan ayat tertentu saja. Jika disertai alasan dan bukti yang lengkap, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah siap untuk memproses setiap gugatan para pengunjuk rasa dan siapapun yang punya legal standing untuk berperkara di MK.
Cara elegan dan bermartabat seperti itulah yang semestinya ditempuh oleh pihak yang mengaku sedang melakukan gerakan moral dan membela kepentingan rakyat atau buruh seperti yang terjadi pada penolakan terhadap UU Cipta Kerja atau omnibuslaw.
Mungkin masih ada yang bertanya, apakah draft UU itu sudah pernah dibaca sampai tuntas?
Comments